Cukup mengherankan juga dari 5,6 juta jiwa penduduk Sumatera Barat
tidak ada satu pun yang berminat sungguh-sungguh menjadi kepala daerah.
Buktinya, dari nama-nama yang disebut-sebut akan maju menjadi calon
gubernur periode mendatang, belum ada nama-nama baru yang diharapkan
bisa melakukan regenerasi kepemimpinan di Sumatera Barat.
Ataukah, dengan adanya keinginan Irwan Prayitno sebagai calon
petahana maju kembali menjadi gubernur dalam pemilihan Desember tahun
ini membuat calon gubernur lain berpikir dua kali untuk bisa
mengalahkannya? Memang tidak dapat dinafikan popularitas Irwan Prayitno
sebagai calon petahana yang mencapai 83,17 persen agaknya melampaui
calon-calon yang lain, sehingga menyulitkan mereka untuk bisa bersaing
pada pemilihan gubernur mendatang.
Faktanya, dari beberapa survei yang dilakukan lembaga independen
memang popularitas dan elektabilitas calon petahana ini masih unggul
dibandingkan dengan nama-nama lain. Barangkali dengan jabatannya sebagai
gubernur memudahkan pergerakan politiknya melintasi kabupaten dan kota
di Sumatera Barat. Hampir di setiap kabupaten dan kota hadir “pesan
pembangunan” gubernur melalui baliho untuk menyukses program yang dibuat
pemerintah provinsi.
Sadar atau tidak, akibatnya masyarakat menjadi akrab dengan sosok
gubernur mereka. Barangkali aspek ini yang menjadi faktor penting
meningkatnya popularitas Irwan Prayitno di mata publik Sumatera
Barat. Ini jelas berbeda dengan calon-calon lain yang juga berlatar
belakang pejabat di daerah dengan ruang lingkup kabupaten/kota saja.
Keleluasaan bergerak calon ini menjadi terbatas, karena wilayah
kekuasaannya yang memang terbatas di kabupaten dan kota saja. Kalau pun
ada baliho di kabupaten dan kota yang lain, tentu konteks “imbauannya”
juga terbatas, sehingga terkesan memang sengaja dipasang untuk
berkampanye menjelang pemilihan gubernur.
Dengan merujuk pada hasil survei yang pernah saya lakukan, bahwa
popularitas pejabat daerah, semisal, bupati dan wali kota yang berniat
maju sebagai calon gubernur ternyata tidak setinggi calon petahana.
Tidak banyak penduduk di kabupaten dan kota lain mengenal bupati atau
wali kota yang akan maju sebagai calon gubernur mendatang.
Selain variabel popularitas ini, ada variabel lain yang juga harus
diperhatikan, yaitu akseptabilitas. Belum tentu orang yang populer
mendapat tempat di hati masyarakat. Orang bisa saja populer karena
perilakunya yang tidak baik, sehingga masyarakat mengenalnya. Misalnya,
koruptor dan pelaku kriminal sangat familiar dalam perbincangan publik.
Mereka sangat dikenal publik. Namun, ketika ditanya apakah mereka
menaruh simpati kepada orang tersebut, saya pikir sebagian besar akan
menolaknya. Sebenarnya, yang diharapkan dari variabel akseptabilitas ini
adalah karena keterkenalannya dapat melahirkan dukungan dan simpati
yang mendalam dari masyarakat.
Tentu ini dimulai dari rekam jejak kebaikan dan keberpihakan mereka
kepada masyarakat. Dari sinilah sebenarnya bermula keinginan publik
untuk mendukung orang-orang yang populer ini menjadi pemimpin bagi
masyarakat. Selain akseptabilitas ini, survei yang pernah dilakukan juga
menyoroti variabel elektabilitas seorang calon.
Elektabilitas ini secara sederhana dapat dipahami tingkat
keterpilihan seorang calon dalam sebuah pemilihan umum atau pemilihan
kepala daerah dengan menanyakan kepada sejumlah orang yang menjadi
bagian dari masyarakat pemilih. Karena itu, secara teorinya
akseptabilitas yang tinggi menjadi dasar tingginya keterpilihan
seseorang untuk memenangi pemilihan.
Namun, faktanya ternyata tidak demikian. Dari data survei, tidak
sedikit akseptabilitas calon ternyata tidak berbanding lurus dengan
elektabilitasnya. Misalnya, dari variabel akseptabilitas yang mencapai
81,06 persen, ternyata Shadiq Pasadigoe, Bupati Tanahdatar sangat mudah
diterima oleh publik dibandingkan dengan calon gubernur yang lain.
Walaupun begitu, faktanya elektabilitasnya masih di bawah calon
petahana. Mengapa ini bisa terjadi?
Inilah keunikan preferensi seorang pemilih terkait dengan respons
politik yang dihadapinya. Perlu dipahami, sebenarnya banyak faktor yang
menentukan bagaimana preferensi politik seseorang itu terbentuk. Mulai
dari usahanya untuk sekadar mengenal calon dari baliho, memahami rekam
jejak calon sampai membangun kedekatan secara emosional dengan sang
calon.
Setiap upaya yang dilakukan oleh pemilih ini juga mensyaratkan adanya
efikasi politik dari pemilih. Efikasi politik ini adalah keyakinan
seseorang dengan kemampuannya untuk mempengaruhi urusan-urusan publik
termasuk dalam menentukan calon gubernurnya. Jika mereka yakin bahwa
pilihannya dapat mempengaruhi pembuatan keputusan publik, mereka akan
terdorong mengetahui lebih jauh siapa calon pemimpin yang akan mereka
pilih nantinya.
Sayangnya, tidak semua masyarakat memiliki efikasi politik yang
tinggi dan diharapkan dapat menentukan calon pemimpin ke depan. Belum
lagi, kerja tim relawan sang calon yang juga dapat meningkatkan
keterpilihannya dengan cara meyakinkan pemilih agar menetapkan
pilihannya sesuai dengan yang diinginkan tim tersebut.
Melihat kecenderungan di atas, saya berkeyakinan tidak akan banyak
yang akan mengajukan diri sebagai calon gubernur pada pemilihan tahun
ini. Kecuali mereka sudah mengalkulasikan dukungannya di setiap daerah
dan dapat membuat proyeksi untuk memenangkan pemilihan tersebut.
Sepanjang calon ini memiliki mesin politik yang kuat, logistik yang
cukup, relawan yang tangguh, serta strategi yang mumpuni, maka upaya
memenangi pemilihan gubernur mendatang tetap terbuka lebar. Inilah
agaknya jawaban mengapa banyak calon yang semula berniat mengajukan diri
menjadi calon gubernur mulai berpikir untuk mengikuti kontestasi
pemilihan gubernur tahun ini.
Kontestasi politik dalam sebuah pemilihan gubernur adalah hal yang
lumrah terjadi dalam sistem demokrasi prosedural. Namun, yang penting
jangan sampai kontestasi ini meruntuhkan semangat kebersamaan untuk
membangun Sumatera Barat ke depan. Agaknya kita perlu mendorong pemimpin
mendatang supaya dapat mengejar ketertinggalan dari provinsi tetangga
yang semakin meninggalkan kita. Semoga saja. (*)
Asrinaldi A – Peneliti Spektrum Politika Institut
Padang Ekspres 13 Maret 2015