Kemiskinan di Sumbar Turun 0,05 Persen, Survei Harus Dilakukan di Periode yang Sama - PKS Sumbar
News Update
Loading...

07 Juli 2013

Kemiskinan di Sumbar Turun 0,05 Persen, Survei Harus Dilakukan di Periode yang Sama

Padang, Padek—Gubernur Sum­bar Ir­wan Prayitno merespons data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2013, yang melansir persen­tase penduduk miskin Sumbar naik dari 8,00 persen (September 2012) menjadi 8,14 persen. Menurut Irwan data yang dirilis BPS tersebut me­ngesankan pemprov bersama pem­kab/pemko tak berbuat apa-apa. Padahal telah banyak program dilaksanakan untuk mengurangi angka kemiskinan.

“Yang benar itu, jumlah pen­duduk miskin di Sumbar dari Maret 2012 hingga Maret 2013 telah me­nga­lami penurunan da­ri 8,19 persen men­jadi 8,14 persen. Turun 0,05 persen pada pe­rio­de tahun sama,” ujar Ir­wan Prayitno kepada Padang Ekspres di ru­mah dinasnya usai per­temuan dengan BPS Sumbar, Selasa (2/7).

Lebih lanjut, menu­rut Irwan, indikator penilaian per­hitungan dengan per­ban­dingan bulan September (2012) dan Ma­ret (2013), tak tepat. Sebab tidak diukur da­lam rentang waktu dan kondisi yang sama. Se­dangkan BPS Sumbar menilai per­hitu­ngan ang­ka kemis­kinan ter­sebut merupakan ang­ka sementara, yang se­wak­tu-waktu dapat berubah. Pasal­nya, survei ekonomi yang dilakukan BPS dua kali setahun. Yakni setiap Maret dan September. Di sinilah terdapat perbedaan persepsi terha­dap ekspos persentase kemiskinan.

Jika perhitungan persentase kemiskinan menggunakan survei kemiskinan, lanjut Irwan, harusnya diukur dalam periode waktu yang sama (year of year). “Perhitungan Maret, perbandingannya harus di bulan Maret tahun sebelumnya, bukan berdasarkan bulan berbeda. Karena  pada periode itu, kan ada perbedaan musim dan masa panen,” ujar Irwan didampingi Kepala BPS Sumbar, Yomin Tofri.

Irwan menjelaskan, dibanding persentase kemiskinan secara nasio­nal, kemiskinan di Sumbar jauh lebih rendah. Secara nasional 11,02 persen, sementara Sumbar hanya 8,14 persen.

Persentase 8,14 persen tersebut, dinilai Irwan, sudah angka maksimal bisa dicapai di daerah yang sebagian besar mata pencarian penduduknya bertani. Pasalnya, untuk dae­rah penghasil minyak sekali­pun (tingkat kemiskinan Riau 7,7 persen), angka 5 persen saja masih dinilai angka wajar untuk tingkat kemiskinan.

Mantan anggota DPR RI itu menambahkan, pening­katan persentase kemiskinan meng­gunakan indikator per­hitungan September–Maret tak bisa di­jadikan ukuran kegagalan pe­merintah me­ngen­taskan jum­lah penduduk miskin.

Dalam data BPS, jumlah penduduk miskin di Sumbar Maret 2013 sebanyak 407. 470 jiwa. Bila diukur dari September 2012, meningkat 9. 615 jiwa. Tapi diukur dari Maret 2012, tetap terjadi penurunan kemiskinan. Menurut wilayah, di pedesaan meningkat 14.337 jiwa, sebaliknya jumlah pen­duduk miskin perkotaan me­nurun 4.722 jiwa.

Terjadinya peningkatan jumlah penduduk miskin di pedesaan, karena 90 persen masyarakat di pedesaan meng­gantungkan hidup dari pada komoditi ekspor, terutama sawit dan karet. Rinciannya, 57 persen bergantung pada eks­por sawit, dan 30 persen pada karet. Kendati produktivitas petani meningkat, namun har­ga jual komoditi itu di pasar internasional rendah. Oto­matis, pendapatan yang dite­rima petani menjadi rendah.

“Tentunya dengan penu­runan harga di tingkat dunia, akan mengurangi kesejah­teraan masyarakat di pede­saan. Makanya, ketika survei dilakukan BPS bulan Maret, mereka termasuk dalam ke­lom­pok masyarakat miskin,” ujarnya.

Suatu hal yang perlu dipa­hami, kata Irwan, pemprov tidak bisa mengatur harga pasar komoditi tingkat dunia. “Masa pengaruh harga di ting­kat dunia juga dijadikan indi­kator kinerja pemerintah. In­dikator kinerja yang dapat diukur adalah pertumbuhan ekonomi. Sejauh ini, per­tum­buhan ekonomi di Sumbar sudah di atas nasional. Na­sional 6,02 persen, di Sumbar justru 7 persen. Silakan kro­s­cek ke BPS terkait data ter­sebut,” tuturnya.

Untuk pengentasan kemis­kinan yang dilakukan pem­prov, kata Irwan, Sumbar telah mem­buat program Gerakan Pe­nye­jahteraan Petani (GPP), Gerakan Pemberdayaan Masya­rakat Pe­sisir (Gepemp), gerakan untuk mendorong UMKM.

“Sebelum saya jadi gu­bernur, tingkat  kemiskinan Sumbar 10 persen, sekarang telah 8,14 persen. Meskipun terjadi penurunan hanya 0,05 persen dari tahun 2012, tetap hargailah upaya kami. Seakan-akan selama ini, kami tak bekerja,” ungkapnya.

Ukur Periode yang Sama

Di tempat yang sama, Yo­min Tofri mengatakan untuk mengukur persentase tingkat kemiskinan, seyogianya me­mang diukur dalam periode waktu sama. “Sumbar telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan jika diukur berda­sarkan periode waktu sama. Bahkan tingkat kemiskinan Sumbar, di bawah nasional. Untuk mengukur kinerja pe­me­rintah, dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan eko­nomi. Capaian Sumbar di atas nasional,” jelasnya.

Diakuinya, tiap tahun BPS memang melakukan dua kali survei, setiap Maret dan September. “Tingkat kemiskinan Sumbar di pedesaan memang meningkat, sedangkan di per­kotaan menurun. Masyarakat di pedesaan mengandalkan komoditi ekspor yang sangat tergantung dari harga dunia dan pemerintah tak bisa me­ngatur harga di pasar dunia itu,” ulasnya.

Selain masih rendahnya harga komoditi ekspor, faktor lain yang membuat penduduk miskin bertambah, kata Yo­min, karena pengaruh laju inflasi. Informasi kenaikan harga BBM, telah membuat harga berbagai kebutuhan pokok meningkat. “Dengan harga meningkat ini, maka kemampuan masyarakat mem­beli barang kebutuhan pokok juga berkurang. Inilah yang kita pakai sebagai indi­katornya dari survei ekonomi,” tukasnya.

Yomin mengatakan seiring ke­mampuan pemerintah me­ngendalikan inflasi dan harga komoditi ekspor membaik di tingkat dunia, dengan sen­dirinya jumlah atau persentase pen­duduk miskin juga akan be­rubah. “Kalau semuanya mem­baik, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, per­sentase yang ada sekarang bisa berubah. Demikian juga se­baliknya. Pe­merintah me­mang lebih ber­peran mengendalikan inflasi di daerah,” jelasnya. (ayu)

padangekspres.co.id

Share with your friends

Give us your opinion

Pemberitahuan
Jangan lupa untuk like dan subscribe PKS Sumbar.
Done