2020 - PKS Sumbar
News Update
Loading...

30 Agustus 2020

PKS Sumbar Konsolidasi Pemenangan Pilkada

PKS Sumbar Konsolidasi Pemenangan Pilkada


Padang 

Sabtu (29/08) bertempat di Grand Inna Padang Hotel, DPW Partai Keadilan Sejahtera Sumatera Barat, melaksanakan kegiatan KONSOLIDASI PEMENANGAN PILKADA SERENTAK 2020. Kegiatan tersebut dilaksanakan secara nasional, serentak oleh seluruh DPW PKS se Indonesia.

Dalam helatan tersebut selain melakukan konsolidasi pemenangan PILKADA 2020, PKS secara nasional juga akan melakukan penandatanganan Pakta Integritas terhadap seluruh calon kepala daerah yang diusung oleh PKS sekaligus penyerahan formulir B1. KWK dari PARPOL.

Dalam helat PILKADA 2020 kali ini Dari 14 Pilkada, baru 12 SK yang sudah fix, adapun 2 daerah lagi, Pasaman dan 50 Kota masih dalam proses. Sejauh ini ada sembilan kader terbaik PKS yang akan maju di PILGUB dan  PILKADA Kabupaten/ Kota. Di antaranya Mahyeldi untuk calon Gubernur Sumatra Barat, 

Trinda Farhan, Cabup Agam, Hendri Susanto Cabup Sijunjung, Refrizal, Cabup Padang Pariaman, Marfendi Cawawako Bukittinggi, Sultani Cawabup Tanah Datar, Adli Cawabup Kab. Solok,  Hamdanus Cawabup Pesisir Selatan dan Hamsuardi, Cabup Pasaman Barat.

Sementara itu di beberapa Kab dan kota PKS juga ikut mendukung beberapa kandidat kepala daerah, seperti di Dharmasraya, PKS mendukung imcumbent Wabup Amrizal Dt Rajo Perak dgn H. Herman, Kota Solok PKS Memberi dukungan kepada Incumbent Wako Zul Elfian dan di kab. Solok Selatan PKS memberi dukungan pada Abdul Rahman yang saat ini menjabat Wakil Bupati.

Terkait koalisi partai di Pilkada kali ini, secara umum PKS tidak membatasi ruang, sehingga berkoalisi dengan berbagai partai, sesuai komunikasi dan dinamika politik yang berkembang di daerah tersebut. Yang penting sekali kita berusaha untuk menseleksi baik dari internal PKS dan Eksternal, calon yang benar benar bisa memimpin dengan sepenuh hati, amanah, memiliki kapasitas dan bisa memajukan pembangunan di daerahnya dalam berbagai sektor seperti penuturan Irsyad Syafar Ketua Umum DPW PKS Sumbar. (Relis/HMS)






29 Agustus 2020

Puasa Tasu'a dan 'Asyura

Puasa Tasu'a dan 'Asyura


Oleh: Irsyad Syafar

Melaksanakan puasa 'Asyura atau puasa pada tanggal 10 Muharram sebenarnya sudah dilakukan oleh Rasulullah SAW semenjak berada di Makkah. Dimana kaum kafir Quraisy juga melakukan puasa yang sama. Lalu tatkala sudah hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk puasa 'Asyura juga. Hal ini berdasarkan hadits dari ’Aisyah ra:

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُهُ ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ

Artinya: "Di zaman jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan puasa ’Asyura. Rasulullah SAW juga melakukan puasa tersebut. Tatkala tiba di Madinah, Beliau melakukan puasa tersebut dan memerintahkan yang lain untuk melakukannya. Namun tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, Beliau meninggalkan puasa ’Asyura. (Lalu beliau mengatakan:) Barangsiapa yang mau, silakan berpuasa. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya (tidak berpuasa).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketika berpuasa di Makkah, hanya Rasulullah SAW yang melakukan. Adapun saat berada di Madinah, para sahabat juga diperintahkan melakukan puasa. Saat itu Beliau melihat kaum Yahudi di Madinah berpuasa pada hari 'Asyura. Beliau bertanya kepada mereka:


« مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.

Artinya: ”Hari apakah ini yang kalian bepuasa padanya?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, ”Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini." Rasulullah SAW lantas berkata, ”Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa dari pada kalian.” Lalu setelah itu Rasulullah SAW memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” (HR. Muslim)

Maka Nabi berpuasa pada hari 'Asyura bersama para sahabat, bukan karena menyerupai kaum Yahudi. Pertama karena sebelumnya saat di Makkah sudah berpuasa juga. Kedua, karena Beliau dan umatnya lebih berhak mensyukuri keselamatan Nabi Musa dibandingkan kaum Yahudi, disebabkan kaum muslimin beriman kepada seluruh Nabi dan Rasul, termasuk Nabi Musa as.

Kemudian, Rasulullah SAW melengkapi syariat puasa 'Asyura ini dengan keutamaan dan kemuliaannya. Tentunya itu bersumberkan kepada perintah atau wahyu dari Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:


صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ


Artinya: “Puasa hari ‘Asyura, sungguh aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun yang telah lalu” (HR. Muslim).

Dalam riwayat yang lain dikatakan:


وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ؟ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ


Artinya: "Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari ‘Asyura, maka Beliau bersabda: “Puasa 'Asyura dapat menghapuskan dosa-dosa kecil setahun yang lalu” (HR. Muslim).

Para ulama berselisih pendapat tentang hukum puasa 'Asyura sebelum turunnya kewajiban puasa Ramadhan. Sebagian ulama menyatakan puasa itu hukumnya wajib, yaitu dari dari kalangan madzhab Hanafi. Sebagian yang lain terutama dari kalangan madzhab Syafii dan Hambali menyatakan hukumnya sunat muakkad.

Adapun pasca turunnya kewajiban puasa Ramadhan, puasa 'Asyura statusnya adalah puasa sunat. Tidak lagi wajib seperti pendapat pertama, atau sunat muakkad pada pendapat kedua.

Kurang satu tahun menjelang wafatnya Rasulullah SAW, ada sahabat yang bertanya kepada Beliau tentang puasa 'Asyura ini. Dimana kaum Yahudi mengagungkan dan merayakan hari tersebut. Akibatnya Rasulullah SAW menjawab:


فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ


Artinya: "Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.”

Ternyata belum sampai bulan Muharram tahun depannya, Rasulullah SAW sudah wafat. Ibnu Abbas mengatakan:


فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.


Artinya: "Belum sampai tahun depan, Rasulullah SAW sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim).

Dengan demikian Rasulullah SAW sudah mengajarkan (mensyariatkan) kepada para sahabat tentang rencana puasa hari ke 9 Muharram (tasu'a). Namun belum sempat dilaksanakan karena keburu wafat.

Maka, puasa Tasu'a menjadi sunat hukumnya karena alasan berikut:

1. Rasulullah SAW berniat melakukan puasa tersebut di tahun yang akan datang dan mengajak para sahabat untuk melakukannya.

2. Menjadi puasa pembeda antara puasa kaum muslimin dengan puasa kaum Yahudi. Dan menyelisihi ibadah kaum Yahudi adalah salah satu sunnah Rasulullah SAW.

Karena itu, berpuasa pada hari Jum'at 28 Agustus 2020 (tasu'a) adalah sunat. Kemudian berpuasa pada hari Sabtu 29 Agustus 2020 ('Asyura), juga sunat, dengan keutamaan yang besar. Bagi yang tidak sempat berpuasa pada hari Jumat 28 Agustus, bisa menambahkan puasa pada hari Ahad 30 Agustus, untuk menghidupkan sunnah Rasulullah SAW dalam menyelisihi kaum Yahudi.


Wallahu A'laa wa A'lam.

17 Agustus 2020

PKS Sumbar Adakan Pendidikan Politik via Zoom

PKS Sumbar Adakan Pendidikan Politik via Zoom

Padang (16/08)

Bertempat di MD Building DPW PKS Sumbar, Bidang Politik Hukum Dan Hak Asasi Manusia (POLHUKAM) DPW PKS Sumbar, melaksanakan kegiatan Pendidikan Politik bagi Kader PKS Se Sumatera Barat.

Dalam kesempatan. Tersebut tampil sebagai pembicara tunggal, Dr. H. Almuzzammil  Yusuf, M.Si yang juga Ketua Bidang POLHUKAM DPP PKS, dengan topik "Aktivis Dakwah Membangun Bangsa dan Negara"

Diskusi yang dipimpin langsung oleh H. Rafdinal, SH Kabid POLHUKAM DPW PKS SUMBAR,  tersebut berlangsung sangat meriah, Karena juga di hadiri oleh sekitar 500 an kader dan struktur PKS se Sumatera Barat melalui media Zoom Meeting.

Selain memperdalam topik pembicaraan, diskusi juga berkembang ke arah konstelasi politik dan dakwah Islam di tingkat Nasional bahkan Internasional.

Semoga dengan diskusi tersebut bisa menambah wawasan dan pemahaman sosial politik bagi kader PKS se Sumatera Barat, baik secara teori maupun realita di lapangan .(relis/humas)

09 Agustus 2020

Deklarasi Cagub dan Cawagub Sumbar

Deklarasi Cagub dan Cawagub Sumbar

Padang, Ahad (9/8) bertempat di Ball Room Pangeran Beach Hotel, DPW Partai Keadilan Sejahtera Sumatra Barat melakukan deklarasi pasangan Bakal Calon Kepala Daerah yang akan bertarung dalam perebutan kursi Gubernur Propinsi Sumatra Barat periode 2021 - 2024 mendatang, yaitu Mahyeldi Ansharullah dan Audy Joynaldy.

Pasangan calon yang biasa disapa dengan sebutan Mahyeldi - Audy tersebut diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan, dan keduanya telah mengantongi  SK Penetapan Calon dari DPP PKS dan PPP, untuk mengikuti  perhelatan demokrasi pemilihan Gubernur tersebut.

Selain Tokoh Partai di tingkat Wilayah dan Kabupaten Kota, kepala - kepala daerah, kegiatan tersebut juga ikut dihadiri petinggi partai di tingkat pusat (DPP). Baik PKS maupun PPP. Dari DPP PKS hadir Mantan Menkominfo H. Tifatul Sembiring yang juga merupakan Ketua DPP PKS WILDA SUMBAGUT, H. Irsyad Syafar Ketua DPW PKS Sumbar, dari DPP PPP rencanya ikut hadir Hj. Fernita yang didampingi sejumlah pengurus tingkat Wilayah dan daerah partai berlambang Kabah tersebut. Namun ternyata ada halangan sehingga hanya Ketua DPW PPP beserta jajaran pengurus yang ikut hadir.

Diharapkan dengan Deklarasi pasangan Mahyeldi - Audy  tersebut bisa memberikan harapan bagi warga Sumatra Barat pada umumnya  untuk memacu pembangunan Sumatra Barat di seluruh sektor terus lebih baik. (Rel/HMS)

17 Mei 2020

Salat Hari Raya

Salat Hari Raya

Ramadhan 22/1441 H
Serial Fiqh Ibadah

SHALAT HARI RAYA

Oleh: Irsyad Syafar

1. HAKEKAT HARI RAYA DALAM ISLAM.

Shalat hari raya atau shalat Ied maksudnya adalah shalat yang dikerjakan pada dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha. Shalat Idul fitri pertama kali disyariatkan pada tahun pertama hijriyah. Kemudian selalu dikerjakan oleh Rasulullah SAW dan tidak pernah ditingalkannya.

Allah SWT memuliakan umat Islam dengan dua hari raya yang mulia tersebut yang berkaitan langsung dengan dua rukun Islam. Hari raya Idul Fitri dilaksanakan setelah menuntaskan ibadah puasa Ramadhan satu bulan penuh. Dan hari raya Idul Adha dirayakan setelah menunaikan ibadah haji.

Kedua hari raya yang mulia itu juga diisi dengan serangkaian ibadah. Mulai dari takbir, tahmid, tahlil sampai dengan shalat hari raya dua rakaat dan mendengarkan khutbah Ied. Kedua hari raya juga diisi dengan ibadah yang sangat kental dengan kepedulian sosial. Ada zakat fitri sebelum shalat Idul Fitri dan ada ibadah qurban setelah shalat Idul Adha.

Jadi, hari raya dalam Islam adalah hari bergembira dan bersuka cita dengan berbagai rangkaian ibadah. Berhari raya dalam Islam berarti mengagungkan Asma’ Allah SWT. Bukan hari berfoya-foya dan bebas merdeka dari ikatan dan aturan agama, sebagaimana terjadi dalam hari raya agama lain.

2. HUKUM SHALAT ‘IED DAN LANDASANNYA.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat hari raya. Sebagian menyatakan hukumnya fardhu 'ain bagi yang mampu. Sebagian lagi menyatakan fardhu kifayah. Dan juga ada yang berpendapat sunnat muakkad. Lajnah Fatwa Arab Saudi, Syekh Bin Baz dan Syekh Utsaimin mengambil pendapat fardhu kifayah. Syekh Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menyatakan sunnat muakkad.

Dalil pensyariatan shalat ini adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata:

أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- – أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.

Artinya: “Nabi SAW memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘Ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beranjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.” (HR Muslim).

Yang menyatakan shalat Ied hukumnya wajib adalah karena alasan berikut:
a. Rasulullah SAW selalu melakukannya dan tidak pernah meninggalkannya.
b. Rasulullah SAW memerintah kaum muslimin keluar rumah untuk menunaikan shalat ‘Ied. Termasuk mengajak seluruh keluarga laki-laki dan perempuan. Bahkan wanita yang sedang haid pun juga diperintahkan hadir, walaupun memisahkan diri dari para jamaah.
c. Adanya perintah di dalam Al Qur’an untuk shalat Ied yaitu firman Allah SWT:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Artinya: “Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS Al Kautsar: 2).

Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘Ied. Adanya perintah menunjukkan hukum wajib.
d. Bila hari raya bertepatan dengan hari Jum’at, maka bagi yang telah melaksanakan shalat Ied di pagi hari, ia mendapat keringanan dengan gugurnya kewajiban shalat jum’at. Tentu saja  sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula.

3. ADAB SHALAT IED.

Ada beberapa adab dan etika dalam pelaksanaan shalat Ied yang harus diperhatikan oleh setiap muslim:

a. Mandi pada hari Ied

Yaitu mandi seperti mandi wajib. Hal ini berdasarkan hadits dari Nafi’, beliau mengatakan:

أن عبد الله بن عمر كان يغتسل يوم الفطر قبل أن يغدو إلى المصلى.

Artinya: “Sesungguhnya Ibnu Umar ra, mandi pada hari Idul Fitri sebelum berangkat ke lapangan." (HR. Malik dan asy-Syafi’i dan sanadnya shahih)

b. Berhias dan Memakai Wewangian

Disunnahkan bagi kaum lelaki pada hari raya untuk berhias dan memakai wewangian. Adapun bagi wanita muslimah tetap berlaku baginya hukum untuk tidak tabarruj dan tidak berlebihan memakai wewangian. Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, bahwa pada hari Jum’at, Nabi SAW bersabda:

إِنَّ هَذَا يَومُ عِيدٍ جَعَلهُ الله لِلمُسلِمِينَ فمَن جاءَ إلى الـجُمعةِ فَليَغتَسِل وَإِن كانَ عِن
دَه طِيبٌ فَليَمسَّ مِنهُ وَعَلَيكُم بِالسِّواكِ.

Artinya: “Sesungguhnya hari ini adalah hari raya yang Allah jadikan untuk kaum muslimin. Barangsiapa yang hadir Jum’atan, hendaknya dia mandi. Jika dia punya wewangian, hendaknya dia gunakan, dan kalian harus gosok gigi.” (HR. Ibn Majah)

c. Memakai Pakaian yang Paling Bagus

Pada hari raya Rasulullah SAW memakai pakaian terbaiknya yaitu jubah yang biasa Beliau pakai pada hari Jum’at dan hari raya. Hal ini sebagaimana hadits shahih dari Jabir bin Abdillah ra, beliau mengatakan:

كانت للنبي -صلى الله عليه وسلم- جُبّة يَلبسُها فِي العِيدَين ، وَ يَوم الـجُمعَة

Artinya: “Nabi SAW memiliki jubah yang Beliau gunakan ketika hari raya dan hari Jum’at.” (HR. Ibn Khuzaimah dan kitab shahihnya)

d. Pada hari Idul Fitri disunatkan berangkat dalam keadaan berbuka, pada hari Idul Adha disunatkan berangkat dalam keadaan puasa.

Sebagimana hadits dari Buraidah, beliau berkata:

لاَ يَـخرجُ يَومَ الفِطرِ حَتَّى يَطعَمَ ولاَ يَطعَمُ يَومَ الأَضْحَى حَتَّى يُصلِّىَ

Artinya: “Nabi SAW tidak berangkat menuju shalat Idul Fitri sebelum Beliau makan terlebih dahulu, dan Beliau tidak makan ketika Idul Adha, sampai shalat dahulu." (HR Turmudzi dan Ibnu Majah).

e. Berjalan menuju lapangan dengan penuh ketenangan dan ketundukan

Hal ini sesuai dengan hadits dari Sa’d ra, ia berkata:

أنَّ النَّبـىَّ -صلى الله عليه وسلم- كانَ يَـخْرج إلَى العِيد مَاشِيًا وَيَرجِعُ مَاشِيًا

Artinya: “Bahwa Nabi SAW keluar menuju lapangan dengan berjalan kaki dan Beliau pulang juga dengan berjalan kaki.” (HR. Ibnu Majah)

f. Membedakan jalan berangkat dengan jalan pulang

Disunatkan untuk berangkat menuju lapangan shalat Ied melalui sebuah jalan, dan bila pulang melalui jalan yang berbeda. Berdasarkan hadits dari Jabir bin Abdillah ra:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ

Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melaksanakan shalat id, beliau memilih jalan yang berbeda (ketika berankat dan pulang).” (HR. Bukhari)

g. Berangkatnya para wanita dan anak-anak

Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat Ied adalah sebuah sunnah. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah di atas. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai wewangian.

Sedangkan mengenai anak kecil, Ibnu Abbas ra. pernah ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat Ied bersama Nabi SAW?” Ia menjawab:

نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ

Artinya: “Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.” (HR Bukhari).

4. WAKTU PELAKSANAAN SHALAT ‘IED

Menurut pendapat jumhur ulama waktu shalat Ied dimulai dari matahari setinggi tombak sampai waktu bergesernya matahari (waktu zawal). Dianjurkan untuk melambatkan pelaksanaan shalat Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat Idul Adha.

Mempercepat shalat ‘Idul Adha adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih hewan qurbannya dan memiliki waktu yang panjang. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur dengan tujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fitri.

5. TEMPAT PELAKSANAAN SHALAT ‘IED

Untuk pelaksanaan shalat Ied lebih dianjurkan dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri ra, mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى

Artinya: “Rasulullah SAW biasa keluar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha menuju tanah lapang.” (HR. Bukhari).

Dalil ini menjadi landasan yang menganjurkan bahwa shalat ‘Ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhal (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Adapun bagi penduduk Makkah, maka sejak masa silam mereka selalu melaksanakan shalat ‘Ied di Masjidil Haram.

6. TUNTUNAN MELAKSANAKAN SHALAT IED

Dalam melaksanakan shalat Ied kita harus mengikuti tatacara dan tuntunan dari Rasulullah SAW. Antara lain sebagai berikut:

Pertama: Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘Ied. Dalam suatu riwayat disebutkan:

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر

Artinya: “Nabi SAW biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai Beliau melaksanakan shalat. Ketika Beliau telah selesai shalat Beliau berhenti dari bertakbir.” (Silsilah hadits shahih).

Cara bertakbirnya adalah dengan suara yang dijaharkan bagi laki-laki dan direndahkan suaranya bagi kaum perempuan. Dilakukan secara spontan saja, sampai tiba di lapangan tempat shalat Ied.

Kedua, Tidak ada shalat Sunnah qabliyah Ied dan ba’diyah Ied.

Hal ini sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu Beliau mengerjakan shalat Ied dua rakaat, namun Beliau tidak mengerjakan shalat sebelumnya dan tidak juga setelahnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ketiga, Tidak Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat Ied

Sebagaimana hadits dari Jabir bin Samurah ra, ia berkata:

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.

Artinya: “Aku pernah melaksanakan shalat ‘Ied (Idul Fitri dan Idul Adha) bersama Rasulullah SAW bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.”(HR Muslim)

Dalam masalah ini, Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad mengatakan, “Jika Nabi SAW sampai ke tempat shalat, Beliau pun mengerjakan shalat ‘Ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk memulai shalat berjamaah tidak ada ucapan, “Ash Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”

Keempat, Pelaksanaan shalat Ied.

Shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah dua rakaat. Adapun tata caranya sama dengan shalat wajib. Hanya saja ada tambahan takbir di awal rakaat pertama dan awal rakaat kedua. Caranya adalah sebagai berikut:
a. Takbiratul ihram.
b. Takbir tambahan sebanyak tujuh kali takbir (Selain takbiratul ihram)
c. Di antara takbir-takbir yang7, boleh membaca dzikir, boleh juga tidak. Ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.” (HR Baihaqi). Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي
d. Membaca Al Fatihah
e. Membaca surat lainnya. Disunnahkan membaca surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qamar pada raka’at kedua. Atau membaca surat Al A’laa pada rakaat pertama dan surat Al Ghasyiyah pada rakaat kedua.
f. Melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dst).
g. Takbir bangkit dari sujud untuk mengerjakan raka’at kedua.
h. Takbir tambahan sebanyak lima kali takbir.
i. Membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
j. Mengerjakan gerakan shalat lainnya dari rukuk hingga salam.

7. SUNNAH BERTAKBIR DAN LAFADZ TAKBIR HARI RAYA

Pada kedua hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul adha disunnahkan memperbanyak takbir, tahmid dan tahlil. Adapun pada hari raya Idul Fitri disunnahkan bertakbir apabila telah selesai sempurna bulan Ramadhan (terbenam matahari terakhir Ramadhan) sampai menjelang shalat Ied dilaksanakan. Landasan bertakbir ini adalah firman Allah SWT:

ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ماهداكم (سورة البقرة :  185).

Artinya: "Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah: 185)

Takbir ini disunnahkan menurut mayoritas ulama. Disunnahkan bagi laki-laki dan para wanita. Baik di masjid, rumah maupun di pasar. Para lelaki dianjurkan meninggikan suaranya, sedangkan kaum wanita merendahkan tidak meninggikan suaranya. Karena wanita diperintahkan untuk merendahkan suaranya.

Adapun terkait takbir pada hari raya Idul Adha, di dalam kitab-kitab fiqih disebutkan bahwa takbirnya dibagi dua; yaitu takbir mutlak dan takbir muqayyad. Takbir mutlak adalah takbir yang dikumandang sejak pertama bulan Dzul Hijjah hingga hari raya Idul Adha tiba dan dilantunkan dimana saja, di pasar, jalan, rumah, masjid atau lainnya, baik sendirian atau berjemaah. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Imam Ahmad:

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمَ عِنْدَ اللَّهِ وَلاَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ

Artinya: “Tidak ada satu haripun yang lebih agung dan dicintai Allah beramal pada hari tersebut dibanding sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir dan tahmid pada hari-hari tersebut.” (HR Ahmad).

Sedangkan takbir muqayyad adalah takbir yang dianjurkan untuk dilantunkan setelah shalat wajib lima waktu, terutama setelah shalat berjemaah. Takbir muqayyad ini dimulai sejak setelah shubuh pada hari arafah (9 Dzul hijjah) hingga setelah salat ashar pada hari terakhir hari tasyriq (13 Dzul Hijjah). Imam Bukhari menyebutkan bahwa Ibnu Umar ra, bertakbir di Mina, di pasar, setiap selesai shalat, di dalam kemahnya dan lain-lain.

Adapun lafdz takbir ada dua macam:

Pertama, yang takbirnya dua kali di awal. Ini adalah yang menurut riwayat Ibnu Mas’ud:

الله أكبر الله أكبر ، لا إله إلا الله ، الله أكبر ، الله أكبر ولله الحمد.

Artinya: “Allah Mah Besar, Allah Maha Besar, tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah. Allah Maha Besar, segala pujian milik Allah.

Kedua, yang bertakbir tiga kali di awal. Ini adalah dari riwayat Ibnu Abbas, dengan  mengucapkan:

الله أكبر ، الله أكبر ، الله أكبر ، لا إله إلا الله ، الله أكبر ، الله أكبر ، ولله الحمد

Artinya: “Allah Mah Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, Allah Mah Besar, Allah Maha Besar,segala pujian milik Allah.
Imam Syafi’i dalam kitab Al Umm membolehkan kalimat takbir lain yang lebih panjang:

اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا اللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا اللَّهَ مُخْلِصِينَ له الدَّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ

Imam Ash Shan’ani dan Abu Ishaq Asy Syirazi serta banyak ulama lainnya, memandang bahwa penambahan lafadz-lafadz ini adalah suatu yang boleh selama masuk dalam keumuman ayat yang memerintahkan bertakbir.

8. KHUTBAH SETELAH SHALAT ‘IED

Khutbah setelah shalat Ied hukumnya sunnat. Karena Rasullullah SAW mempersilakan para sahabat mendengar atau juga boleh pergi. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ.

Artinya: “Aku saat ini akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silakan ia duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan ia pergi.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah).

Setelah melaksanakan shalat Ied, imam (khatib) langsung berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘Ied. Tidak diselingi dengan takbir ataupun amalan yang lain. Khutbah Ied disunnahkan bila shalat Ied dilakukan berjamaah. Adapun bila shalatnya sendirian maka tidak disunnahkan ada khutbah.

Para ulama berbeda pendapat dalam khutbah Ied, apakah dilaksanakan dua khutbah atau satu khutbah saja. Masing-masing memiliki landasan dalam hal ini. Sekurang-kurangnya Khutbah Ied harus memnuhi rukun khutbah:

a. Hamdalah memuji Allah.
b. Shalawat kepada Rasulullah SAW
c. Membaca ayat-ayat Al Quran
d. Wasiat taqwa
e. Membaca do’a.

Demikian fiqh shalat hari raya dan Khutbah Ied, semoga bermanfaat. Wallahu A’laa wa A’lam.
Viral Cekcok di Posko Covid-19, Irwan Prayitno: Tegas Harus, Tapi Jaga Kesopanan

Viral Cekcok di Posko Covid-19, Irwan Prayitno: Tegas Harus, Tapi Jaga Kesopanan

PADANG – Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno menilai insiden cekcok petugas Posko Covid-19 Kota Padang dengan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumbar, Amnasmen hanya kesalahpahaman. Meski begitu, petugas diharapkan tetap menjaga kesopanan dalam menjalankan tugas.
“Kalau tegas dan ketat itu harus. Tapi petugas harus tetap menjaga kesopanan dalam menjalankan tugas,” sebut Irwan menyikapi insiden tersebut, Sabtu (16/5). yose
Dikatakannya, dari video yang beredar nampak hanya kesalahpahaman. Selain petugas tidak kenal Ketua KPU Sumbar, Amnasmen juga tidak membawa surat tugas. Dari Permenhub Nomor 25/2020 memang mengharus ada surat tugas. Selain itu malah adalah bebas Covid-19. “Kalau dari Permenhub, surat tugas itu harus ada. Bahkan harus ada surat bebas Covid-19,” ujarnya.
Meski begitu, Irwan juga meminta petugas yang menjalakan fungsinya di perbatasan juga harus menjaga kesopanan. Menggunakan kata-kata yang baik. Jangan pula main kata-kat kasar.
“Petugas kan juga tidak boleh dengan kata-kata kasar. Apalagi memposting di media sosial data pribadi orang, itu juga tidak benar,” pungkasnya.
Sebelumnya, beredar video insiden cekcok antara Ketua KPU Sumbar, Amnasmen petugas perbatasan Lubuk Paraku, antara Kabupaten Solok dengan Kota Padang. Dalam video tersebut nampak dua orang tersebut terpancing dengan menggunakan suara nada tinggi.
Kemudian, berlanjut dengan petugas memposting identitas Ketua KPU Sumbar di media sosial. Ditambah dengan beredar video. Informasinya insiden ini berlanjut ke ranah hukum. (yose
Sumber: hariansinggalang.co.id 16 Mei 2020
Riza Falepi Beberkan Alasan Batal Bertarung dalam Pilgub Sumbar

Riza Falepi Beberkan Alasan Batal Bertarung dalam Pilgub Sumbar

PAYAKUMBUH –  Sulitnya berkomunikasi dengan petinggi PKS di pusat, selama pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), membuat Riza Falepi memilih mundur dari pencalonan sebagai Gubernur Sumbar periode 2021-2016.
Kemudian kesibukan dalam mengurus wabah Covid-19 di Payakumbuh, membuat urusan Pilgub Sumbar jadi terabaikan. 
“Mohon maaf, karena kesibukan mengurus Covid-19 membuat urusan administrasi yang diminta DPP PKS jadi terabaikan. Tidak bisa saya penuhi sesuai harapan pengurus pusat,” ujar Riza melalui telepon selulernya, Sabtu (16/5). 
Dikatakan Riza, dirinya ikhlas memberikan kesempatan kepada calon lain yang lebih punya waktu untuk memenuhi seluruh persiapan terkait dengan Pilgub itu. Jadi pilihan mundur ini, tidak ada karena persoalan personal. Dan bukan karena faktor tertentu, tapi murni karena tak punya banyak waktu mengurus segala persiapan. “Termasuk beberapa persyaratan tersebut juga terlambat akibat Corona ini,” tambah Riza.
Diakuinya, dirinya akan fokus mengurus Covid-19 serta membangun Payakumbuh hingga berakirnya masa jabatannya, yakni pada 2022 mendatang. Ia ingin mewujudkan janji politiknya untuk membangun Masjid Agung, selain pembangunan infrastruktur lainnya. Ingin juga menuntaskan proyek strategis, normalisasi dan penataan Batang Agam. 
“Selepas masa jabatan nanti, saya akan kembali melanjutkan dunia usaha dengan grup yang sudah dirintis sebelum jadi walikota. Pengabdian saya buat negeri ini, bukan sebatas sebagai kepala daerah saja. Tapi bisa diaplikasikan dalam bentuk lain. Yang penting, segala usaha yang dikerjakan, berguna buat kepentingan rakyat banyak,” katanya. (bule)
Sumber: hariansinggalang.co.id 17 Mei 2020

16 Mei 2020

Fikih Zakat Fitri

Fikih Zakat Fitri

Ramadhan 21/1441 H
Serial Fiqh Ibadah

FIQH ZAKAT FITRI

Oleh: Irsyad Syafar

1. Defenisi Zakat Fitrah dan dalil pensyariatannya.

Secara dalil, zakat fitrah ini nama aslinya di dalam hadits adalah zakat fitri. Terdiri dari dua kata: Zakat dan Fitri. Kata zakat secara bahasa memiliki arti: tumbuh, bertambah atau berkembang. Sedangkan kata fitri (fithr) artinya berbuka setelah berpuasa.

Maka gabungan dua kata tersebut menjadi “zakat fitri” merupakan gabungan yang mengandung makna sebab akibat, yang berarti sebab diwajibkannya zakat fitri ini adalah karena kaum muslimin telah selesai menunaikan puasanya di bulan Ramadhan.

Adapun dalil perintah membayar zakat fitri adalah hadits Ibnu Umar ra, ia berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أوْ أنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ” أخرجه البخاري في “صحيحه”.

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri dari bulan Ramadhan atas manusia satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum, bagi setiap umat muslim yang merdeka atau hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan.” (HR. Al-Bukhari)

Zakat fitri ini disyariatkan pada tahun kedua hijriyah di ujung bulan Ramadhan, disaat kaum muslimin akan segera mengakhiri puasa Ramadhannya. Karena itulah ia dinamakan zakat fitri, atau juga nama lainnya shadaqah fitri atau sedekah berbuka. Jadi, fitri bukan bermakna suci. Sama juga dengan nama hari rayanya yaitu hari raya Idul Fitri. Artinya hari raya berbuka. Bukan hari raya kembali suci, sebagaimana kebanyakan orang memahaminya.

Sebagian ulama ada yang menamakan zakat ini dengan “zakat fithrah”, di mana kata fithrah mengandung makna asal penciptaan. Dalam kitab Mausu’ah al Fiqhiyah, dinukilkan bahwa Abul Haitsam mengatakan: “al-fitrah adalah asal penciptaan, yang menjadi sifat seorang bayi ketika dilahirkan dari ibunya”. Dinamakan zakat fitrah karena zakat ini adalah zakat untuk badan dan jiwa sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitab Al Mughni. Maka kemudian dikalangan kaum muslimin di Indonesia dan sekitarnya, yang lebih populer adalah Zakat Fitrah. Sedangkan di kawasan timur tengah mereka biasa menyebutkan zakat fitri.

2. Hukum Zakat Fitri

Hukum zakat fitri adalah wajib bagi setiap muslim menurut pendapat yang terkuat. Para ulama menyatakan kewajiban menunaikan zakat fitri tercakup dalam perintah Allah SWT yang memerintahkan membayar zakat. Sebab, zakat fitri adalah termasuk jenis  zakat, bukan sedekah biasa. Di surat Al Baqarah ayat 43 Allah SWT berfirman:
وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Tunaikanlah zakat”.

Adapun dalil dari hadits, selain hadits yang di atas, Ibnu Abbas ra, menyatakan:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

Artinya: ‘Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri untuk membersihkan orang yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan perkataan kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat (Idul Fitri), berarti ini merupakan zakat yang diterima, dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat (idul fitri) berarti hal itu merupakan sedekah biasa”. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Daru Quthni).

Dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra, ia berkata:

فرض رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم زكاة الفطر، صاعًا من تمر أو صاعًا من شعير، على العبد والحر، والذكر والأنثى، والصغير والكبير، من المسلمين، وأمر بها أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاة

Artinya: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering. (kewajiban) ini bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa. Dan Beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang berangkat shalat.” (Shahih. HR. Bukhari & Muslim).

Dalil-dalil di atas menegaskan bahwa hukum zakat fitri adalah wajib.

3. Orang yang diwajibkan membayar zakat fitri

Sebagaimana hadits di atas, bahwa Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa zakat fitri itu wajib bagi setiap muslim, laki-laki dan perempuan, merdeka ataupun budak, besar ataupun kecil.
Para ulama menambahkan syarat wajibnya zakat fitri ini, yaitu:
a. Memiliki kelebihan kebutuhan keluarganya berupa makanan dan sejenisnya untuk hari Idul Fitri. Kalau ia tidak memilikinya maka ia tidak wajib membayar zakat fitri. Justru ia adalah orang yang berhak menerima zakat fitri.
b. Berjumpa dengan bulan Ramadhan atau awal syawal walapun sesaat. Maka bayi yang lahir pagi menjelang shalat ied, menurut pendapat yang kuat adalah wajib dibayarkan zakat fitrinya oleh orang tua atau walinya. Begitu juga orang yang meninggal dunia pada hari pertama Ramadhan juga tetap wajib dibayarkan zakat fitrinya oleh ahli warisnya.

Adapun janin yang masih dalam kandungan ibunya, menurut pendapat yang kuat tidaklah wajib membayar zakat fitri.

4. Objek Zakat fitri

Objek zakat fitri telah ditentukan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri ra, beliau mengatakan, “Kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha makanan, satu sha gandum, satu sha kurma, satu sha keju atau satu sha kismis” (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun para ulama berselisih pendapat, apakah objek zakat hanya terbatas pada kelima objek yang tertera dalam hadits ataukah bisa selainnya?

Pendapat yang tepat adalah pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, yang menyatakan bahwa segala biji-bijian atau buah-buahan yang merupakan makanan pokok di suatu negeri dapat dijadikan objek zakat fitri.

Pendapat ini sejalan dengan hadits Abu Sa’id al Khudri di mana beliau berkata, “Kami mengeluarkan zakat fitri pada zaman Rasulullah SAW pada hari raya dengan satu sha makanan”. Beliau melanjutkan, “Dan makanan pokok kami (di Madinah) adalah gandum, kismis, keju dan kurma” (HR. Bukhari).

Imam Ibnu al-Qayim berpendapat bahwa kelima jenis makanan yang tercantum dalam hadits Abu Sa’id) merupakan mayoritas bahan makanan pokok di kota Madinah. Jika makanan pokok di suatu negeri selain lima jenis tersebut, maka penduduknya wajib mengeluarkan zakat fitri sebanyak satu sha dari makanan pokok mereka seperti biji-bijian, beras, buah tin atau biji-bijian selainnya. Jika makanan pokok mereka berupa non biji-bijian seperti susu, daging, atau ikan, maka mereka membayar zakat fitri dengan makanan pokok tersebut apapun bentuknya.” (Dari kitab: I’laam al-Muwaqqi’in).

5. Ukuran zakat fitri dan Pembayarannya

Berdasarkan hadits Ibnu Umar ra di atas, maka ukuran zakat fitri adalah satu sha’ makanan. Baik berupa gandum, kurma, kismis, beras, jagung dan makanan pokok lainnya. Satu sha’ itu adalah ukuran takaran sebanyak 4 mud. Adapun satu mud itu sama dengan takaran dua tangan orang dewasa. Sehingga kemudian para ulama berbeda pendapat dalam mengkonversinya ke dalam ukuran berat atau volume makanan tersebut.

Jumhur ulama berpendapat bahwa satu sha’ itu sama dengan 2,75 kg. Adapun madzhab Abu Hanifah menyatakan satu sha’ sama dengan 3,8 kg. Bagi rakyat Indonesia kebanyakan sudah terlanjur mengambil patokan 2,5 kg dikarenakan berangkat dari perbedaan pendapat dalam mengkonversi 4 mud ke dalam berat ataupun volume. Bila ingin mengambil yang lebih afdhal tentunya lebih baik ukuran yang lebih berat (2,75 kg).

Adapun pembayaran zakat fitri ini, jumhur ulama (Maliki, Syafi’i dan Hambali) semuanya sepakat harus berupa makanan, dan tidak boleh dengan nilai (uang). Tentunya mereka bersandarkan kepada semua hadits yang mewajibkan zakat fitri. Dimana Rasulullah SAW tidak ada menyebutkan di dalam haditsnya pembayaran dengan nilai (uang).

Sedangkan madzhab Hanafi membolehkan pembayaran dengan nilai, sebagaimana juga mereka membolehkannya pada pembayaran fidyah. Ini juga merupakan pendapat dari Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan Al-Bashri, Atha’, Ats-Tsauri, Imam Bukhari dan salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i dan Hambali. Diantara dalil dan alasan pembolehan zakat fitri dengan nilai (uang) adalah:
a. Adanya sikap Khalifah Abu bakar yang menggati pembayaran zakat ternak dengan ternak lain yang lebih kecil dengan tambahan berupa dirham.
b. Mu’adz ra, pernah berkata kepada penduduk Yaman:

ائْتُونِى بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ فِى الصَّدَقَةِ ، مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ ، وَخَيْرٌ لأَصْحَابِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ.

Artinya: “Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian pakaian atau baju lainnya sebagai ganti gandum dan jagung dalam zakat. Hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik/ bermanfaat bagi para shahabat Nabi SAW di Madinah.” (HR Bukhari – muallaq).

Hadits ini menunjukkan bahwa Mu’adz menarik zakat dengan sesuatu yang senilai, bukan dengan gandum sesuai ketetapan. Karena itu, membayar dengan nilai pernah dilakukan oleh para sahabat. Dalam kondisi dan situasi umat saat ini, sebaiknya perdebatan tentang boleh tidaknya zakat fitri dengan uang dihentikan. Bagi yang lebih tenang dan nyaman hatinya dengan makanan pokok, maka silakan dilakukan karena memang itulah hukum asalnya.

Sedangkan orang yang memilih pendapat yang membolehkan dengan nilai (uang), karena memang ada landasan dan kemaslahatannya, juga silakan dilakukan. Jangan ada lagi yang menuduh sesat bila berbeda pilihan pendapat. Para ulama besar madzhab tidak pernah menyesatkan ulama madzhab lain yang punya ijtihad berbeda.

6. Waktu pembayaran dan orang yang berhak menerima zakat fitri.

Para ulama sepakat bahwa waktu wajib pembayaran zakat fitrah adalah di akhir Ramadhan. Mereka sedikit berbeda pendapat dalam patokan waktunya. Sebagian menyatakan pada waktu terbenam matahari di akhir Ramadhan, malam Idul Fitri. Ini pendapat yang lebih maslahat. Sebagian lagi berpendapat pada waktu terbit matahari shubuh hari Idul Fitri.

Para ulama juga membolehkan mempercepat pembayaran zakat fitri ini sehari ataupun dua hari sebelum Ramadhan berakhir. Dalam kondisi pandemi dan krisis ekonomi saat ini, para Ulama juga membolehkan pembayarannya lebih cepat lagi ke awal-awal Ramadhan karena kebutuhan membantu para faqir miskin.

Adapun orang yang berhak menerima zakat fitri adalah sesuai dengan hadits Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa zakat fitri itu makanan bagi orang-orang miskin (termasuk orang-orang faqir). Walaupun banyak ulama yang membolehkan pembagian zakat fitri kepada 6 ashnaf yang lain, akan tetapi Imam Ibnu al-Qayim mengatakan, “Tuntunan Nabi SAW (dalam pelaksanaan zakat fitri) adalah menyerahkan zakat fitri hanya kepada orang-orang miskin dan tidak membaginya kepada setiap golongan (yang tertera dalam firman Allah di surat at-Taubah ayat 60).

Rasulullah SAW dan para sahabat tidak pernah menunaikannya kecuali kepada faqir dan miskin saja. (Dari kitab Zaadul Ma’ad)

7. Hikmah Pensyari’atan Zakat Fitri

Setiap ibadah yang Allah SWT syariatkan kepada hambaNya pastilah memiliki makna dan hilmah yang mulia. Diantaranya, zakat fitri merupakan bentuk pengejewantahan rasa kasih sayang kepada kaum fakir miskin sehingga mereka tidak perlu mengemis di hari raya. Sehingga mereka turut merasakan kegembiraan bersama kaum muslimin yang lain dengan datangnya hari raya.

Selain itu, zakat fitri merupakan salah satu sarana untuk melebur berbagai kekeliruan yang dilakukan seorang ketika berpuasa di bulan Ramadhan seperti perbuatan sia-sia dan perkataan yang keji sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas ra, sebelumnya. Guru Imam Syafi’i pernah menyatakan:

زَكَاةُ الْفِطْرِ لِشَهْرِ رَمَضَانَ كَسَجْدَتِي السَّهْوِ لِلصَّلاةِ ، تَجْبُرُ نُقْصَانَ الصَّوْمِ كَمَا يَجْبُرُ السُّجُودُ نُقْصَانَ الصَّلاةِ . (المجموع للنووي).

Artinya: ’Zakat fitri bagi bulan Ramadhan bagaikan sujud sahwi dalam shalat. Fungsinya menutupi kekurangan puasa sebagaimana sujud sahwi menutupi kekurangan pada shalat.’ (Al Majmu’ Imam Nawawi).

Wallahu A’laa wa A’lam.

15 Mei 2020

Gubernur Yakin Korona segera Berakhir, Tiga Kabupaten/ Kota Masih jadi Daerah Hijau

Gubernur Yakin Korona segera Berakhir, Tiga Kabupaten/ Kota Masih jadi Daerah Hijau

Gubernur Sumbar Irwan Prayitno menekankan bahwa tugas besar saat ini adalah memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19 melalui local transmission atau penyebaran lokal di Sumbar. Penanganan Covid-19 secara umum sejauh ini dinilai sudah sesuai dengan protokol kesehatan yang ada. Meskipun hingga kini masih cenderung ada peningkatan kasus positif Covid-19 di Sumbar.
“Kita sudah melakukan penanganan dengan baik. Sebentar lagi kita memasuki fase puncak dan setelah itu diharapkan terus turun,” ujar Irwan usai rapat koordinasi bersama kepala Dinas Kesehatan se- Sumbar di ruang kerja kantor Gubernur melalui video conference, kemarin.
Dalam rapat koordinasi tersebut, dibahas beberapa poin yang berhubungan dengan perkembangan virus Covid-19, serta upaya dan usaha yang dilakukan untuk mencari memutus rantai penularan virus Covid-19 di Sumbar.
Irwan mengaku optimistis kurva kasus Covid-19 di Sumbar bisa segera selesai dalam waktu dekat ini. Hal yang membuat optimis adalah dari 19 kabupaten/ kota di Sumbar, ada 3 daerah yang negatif kasus Covid-19 atau menjadi zona hijau yaitu Sawahlunto, Sijunjung, dan Kota Solok.
Untuk kota Padang, saat ini masih berjuang memutus kasus penyebaran Covid-19 dari berbagai klaster. Dari sekitar 15 sampai 16 klaster, sudah ada 8 klaster yang putus kasus penyebarannya. “Untuk itu Pemprov Sumbar melalui dinas kesehatan di kabupaten/ kota bisa bergerak cepat untuk melakukan pemeriksaan massif kepada para warganya,” ungkapnya.
Klaster-klaster penyebaran Covid-19 di kabupaten/ kota lain, kata Irwan, juga saat ini sudah mulai menunjukkan penurunan. Menurutnya, laju penyebaran Covid-19 di Sumbar berhasil ditekan dengan diterapkannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan pemeriksaan secara massif. “Walaupun ada peningkatan kasus positif di Sumbar. Ini berarti ditemukan orang-orang yang berpotensi menularkan sehingga bisa diputus mata rantai Covid-19 ini,” jelasnya.
Hingga saat ini jumlah pasien positif Covid-19 di Sumbar sebanyak 72,6 persen orang dalam pemantauan (ODP) dan orang tanpa gejala (OTG) dan hanya 27,4 persen pasien dalam pengawasan (PDP) yang berada di rumah sakit (RS). “Artinya data ini memperlihatkan ada upaya serius Sumbar untuk mendeteksi sebanyak mungkin OTG dan ODP karena mereka adalah sumber penular,” ungkapnya.
Menurut Irwan, jika ada daerah yang pelit atau tidak mau mengirim tes swab-nya ke Laboratarium FK Unand Padang, berarti kepala daerahnya sosok yang jahat. Karena ingin daerahnya zero positif Covid-19, sehingga kepala daerah enggan mengirim tes swab, serta melakukan tracking terhadap warganya. Padahal, seluruh pembiayaan tes swab menjadi tanggung jawab Pemprov Sumbar. “Kok masih ada kepala daerahnya enggan periksa swab,” katanya.
Ia menambahkan, jalan pikiran kepala daerah itu, harus diluruskan oleh kepala dinas kesehatan. Sebab, jika dibiarkan, wabah virus korona di daerah tersebut bakal banyak merenggut nyawa masyarakat, karena penanganannya sudah terlambat.
Karena itu, ia mengajak seluruh kadiskes seluruh daerah di Sumbar, harus proaktif dalam melakulan tracking terhadap orang-orang yang pernah kontak dengan kasus positif Covid-19 sambil diambil tes swab mereka. “Saya perintahkan kepala dinas kesehatan harus mampu meluruskan jalan pikiran kepala daerah yang tak benar itu,’ tegasnya.
Lebih lanjut Irwan berharap prediksi puncak penyebaran virus Covid-19 di Sumbar akan memasuki puncak pada akhir bulan ini sesuai dengan yang disampaikan sebelumnya.
“Kita tetap berpegang pada Permenhub 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri 1441 Hijriah, dan kriteria pembatasan perjalanan dalam rangka percepatan penanganan Covid-19,” ungkapnya.
Kemudian, dalam rapat koordinasi tersebut, Irwan mengapresiasi daerah yang berhasil menekan angka penularan bahkan yang berhasil menihilkan kasus positif Covid-19. Menurutnya, daerah tersebut sukses melakukan tracking, isolasi dan memutus mata rantai penularan Covid-19.
Saat ini ada beberapa klaster penularan yang masih berlanjut di Sumbar. Seperti klaster Pasar Raya Padang, klaster Payakumbuh dan RSUD Padangpanjang. Irwan berharap daerah-daerah tersebut dapat melakukan tracking dan isolasi agar angka penularan tidak lagi bertambah.
Terjadi Lonjakan Kasus 
Lonjakan kasus pasien positif Covid-19 meningkat signifikan. Pemprov Sumbar kembali mengonfirmasi tambahan kasus pasien positif Covid-19 di Sumbar sebanyak 32 orang yang ditemukan di sejumlah kabupaten/ kota seperti Padang, Limapuluh Kota, Payakumbuh, Kepulauan Mentawai, dan Padangpariaman.
Dengan penambahan 32 pasien positif Covid-19 baru tersebut, maka total jumlah kasus positif di provinsi Sumbar sebanyak 371 kasus. Kemudian, total pasien sembuh sebanyak 86 orang, dan pasien yang meninggal 21 orang.
Jubir Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Provinsi Sumbar, Jasman Rizal mengatakan, di antaranya 32 kasus positif yang dikonfirmasi pada Kamis (14/5), Padang masih menjadi penyumbang terbanyak jumlah kasus positif yaitu sebanyak 27 orang.
Selain Padang, Jasman menyampaikan, kasus pasien positif Covid-19 juga ditemukan di Limapuluh Kota dua orang. Kemudian, satu kasus pasien positif Covid-19 ditemukan di tiga kabupaten/ kota lainnya yaitu, Padangpariaman, Kepulauan Mentawai dan Kota Payakumbuh.
Selain penambahan kasus pasien positif, Pemprov Sumbar juga mengonfirmasi adanya 3 pasien positif dinyatakan sembuh setelah melakukan pemeriksaan swab sebanyak 2 kali dan hasilnya negatif Covid-19. Selain itu, dua orang pasien positif meninggal asal Balailamo Salido dan Sungaitarab. (a)
Sumber: padek.jawapos.com 15 Mei 2020
Anggota DPR Apresiasi JPS Konsisten Beritakan Pandemi Covid-19

Anggota DPR Apresiasi JPS Konsisten Beritakan Pandemi Covid-19

Anggota Komisi VI DPR RI, Nevi Zuairina mengapresiasi konsistensi Jaringan Pemred Sumbar (JPS) dalam memberitakan penanganan pandemi Covid-19. Meski banyak media massa dan karyawannya yang terdampak ekonomi akibat Covid-19, mereka tetap profesional dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik.
“Salut dan ibu tahu kawan-kawan di JPS pasti ikut terdampak atas musibah Coronavirus yang sudah masuk bulan ketiga ini,” ungkap Nevi Zuairina, Jumat (15/5) di Padang.
Nevi mengatakan, Nevi, meski terdampak, pers tetap menjdi garda terdepan dalam penyampaian informasi tentang pandemi. “Pers adalah garda terdepan dan rekan JPS konsisten memberitakan penanganan Covid-19 Sumbar,” jelas Nevi.
Menurutnya, walaupun pandemi dan penerapan pembatasan sosial, namun silaturahmi harus tetap terjaga. Nevi berharap, insan media dalam bekerja tetap menjaga kesehatan dan taat protokol kesehatan.
“Mohon kawan-kawan di JPS, selalu taat protokol kesehatan dalam bekerja. Apalagi ibu ada baca survei Unpad sekitar 45.92 persen jurnalis depresi akibat Covid-19. Semoga sahabat pers di Sumbar tidak seperti itu,” harapnya.
Nevi Zuairina selama pandemi Covid-19 terus menebarkan kepedulian kepada masyarakat Sumbar, mulai dari pembagian 9.000 paket sembako sampai menyerap produk UMKM serta penyediaan paket berbuka di daerah pemilihan DPR RI Sumbar II.
“Saya merasakan dampak luar biasa atas musibah ini, semua orang terdampak Covid-19. Sabar dan mohon doa masyarakat, semoga musibah ini segera berlalu dari negeri atas izin Allah SWT,” pungkasnya. (rel/esg)
Sumber: padek.jawapos.com 15 Mei 2020
Riza Falepi tak Jadi Maju di Pemilihan Gubernur Sumbar

Riza Falepi tak Jadi Maju di Pemilihan Gubernur Sumbar

PAYAKUMBUH – Keputusan DPP PKS sampai saat ini belum turun terkait bakal calon yang akan diusungnya. Tapi, Walikota Payakumbuh H. Riza Falepi, memastikan diri tidak maju dalam konteslasi politik perburuan kursi Gubernur Sumbar, periode lima tahun ke depan, 2021-2026.
Walikota Payakumbuh H. Riza Falepi bersama Walikota Padang H. Mahyeldi, merupakan dua kader PKS terbaik yang digadangkan sangat berpeluang untuk menjadi calon Gubernur Sumbar. Keduanya, merupakan kepala daerah dua periode di Payakumbuh dan di Padang. Keduanya pun berpeluang besar merebut kursi BA 1 Sumbar. 
Namun, kenapa Riza Falepi memilih tidak maju kepemilihan Gubernur Sumbar periode lima tahun mendatang. Alasannya realistis saja, hasil survei Mahyeldi lebih baik daripadanya. Mantan senator DPD RI itu, mengakui secara jujur, lebih baik fokus melakukan pencegahan dan menghentikan laju peredaran wabah Virus Corona Disease atau Covid-19 di Payakumbuh, ketimbang berburu kursi gubernur. 
“Saya harus menyelamatkan rakyat Payakumbuh dari ancaman Covid-19. Jadi tak berpikir lagi dengan hal-hal lain, termasuk dengan percaturan permainan politik, pilgub ini,” ujar Riza Falepi, kepada topsatu, Jumat (15/5), yang baru saja dinobatkan sebagai kepala daerah terbaik di Sumbar, dalam penanganan pencegahan Covid-19 bersama Walikota Padangpanjang dan Walikota Bukittinggi versi Kabarnagari.
Dikatakan Riza, hasil survei pemilihan Gubernur Sumbar, Mahyeldi lebih baik daripada dirinya. Meski belum menjamin, tapi dalam perhitungan objektif sejumlah lembaga survei Mahyeldi berada diatasnya. Riza mencontohkan hasil survei terakhir Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis akhir Desember lalu, menunjukkan dukungan kepada Mahyeldi mengalahkan dirinya. 
Menjawab pertanyaan media, terhadap dukungan yang telah diberikan kepada Riza saat ini, Walikota Payakumbuh bertabur prestasi ini, meminta maaf yang sebesar-besarnya. Sebaliknya, Riza menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan itu.
“Mohon maaf, jika mengecewakan hati para pendukung. Dan saya aturkan terimakasih atas dukungan yang diberikan selama ini. Semoga Allah SWT memberi pahala setimpal atas keikhlasan semua warga, dalam memberikan dukungan selama ini kepada saya,” kata Riza.
Menurut Riza, apapun keputusan DPP dalam penetapan calon gubernur nanti, ia legowo. Dan siap memberikan dukungan buat Mahyeldi. “Sebagai kader yang baik dan militan, saya mengajak seluruh pendukung untuk mengantarkan Mahyeldi merebut kursi Gubernur Sumbar kedepannya,” pungkasnya. (bule)

Sumber: hariansinggalang.co.id 15 Mei 2020

14 Mei 2020

Bolehkah Iktikaf di Rumah?

Bolehkah Iktikaf di Rumah?

BOLEHKAH IKTIKAF DI RUMAH?

Oleh: Irsyad Syafar

Hari ini sudah hari ke 20 Ramadhan. Itu artinya malam nanti adalah malam ke 21. Berarti kita sudah memasuki 10 malam terakhir yang sangat istimewa.

Pada 10 malam terakhir Ramadhan, Rasulullah SAW meningkatkan amal shalehnya. Beliau hidupkan malamnya dan Beliau bangunkan keluarganya. Sebagaimana hadits dari Aisyah ra, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ.

Artinya: "Nabi SAW bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan), Beliau mengencangkan sarung Beliau, menghidupkan malamnya dengan beribadah dan membangunkan keluarga Beliau." (HR Bukhari).

Cara Beliau menghidupkan 10 hari terakhir Ramadhan adalah dengan melakukan iktikaf. Dari
hadits riwayat ‘Aisyah ra, beliau mengatakan:

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.

Artinya: "Nabi SAW beriktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga Beliau wafat, kemudian para istri beliau beriktikaf sepeninggal Beliau.” (HR Bukhari dan Muslim).

Maka iktikaf adalah ibadah sunnat yang sangat dianjurkan. Pelaksanaanya harus dilakukan di masjid sebagaimana firman Allah SWT:

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ.

Artinya: “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud.” (QS Al Baqarah: 125).

Dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman:

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ.

Artinya: “(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS Al Baqarah: 187).

Timbul pertanyaan, dalam situasi darurat covid 19 ini, bagaimana cara kita iktikaf? Bolehkan kita iktikaf di rumah sebagaimana shalat wajib dan tarawih sudah dipindah ke rumah?

Jumhur ulama menyatakan bahwa iktikaf hanya bisa di masjid. Dan itu berdasarkan dalil-dalil ayat dan hadits yang disampaikan di atas. Bahkan sebagian ulama mensyaratkan masjidnya harus masjid Jami' yang disana dilaksanakan shalat Jumat.

Namun ada pendapat dari kalangan ulama Hanafi yang membolehkan iktikaf di rumah. Hanya saja pendapat ini lemah karena tidak didukung oleh dalil yang memadai.

Akan tetapi, dalam suasana wabah yang masih belum reda ini, tentulah sangat riskan untuk melakukan iktikaf di masjid. Kecuali masjid yang berada jauh di perkampungan, perbukitan dan desa-desa terpencil yang tidak ada kasus covid disana, dan penduduknya semua terkendali, tidak ada yang keluar masuk.

Adapun masjid di perkotaan tentu tidaklah kondusif. Resikonya sangat berbahaya. Sebab penularan antar penduduk sudah terjadi. Mengambil ibadah yang sunnah dengan resiko penyakit berbahaya tentulah tidak dianjurkan.

Maka dalam kondisi ini, memungkinkan untuk memakai pendapat yang lemah. Paling tidak, sunnah Rasulullah SAW untuk menghidupkan 10 hari terakhir dapat diamalkan.

Untuk itu tentu perlu pengkondisian tempat dan suasana di rumah untuk melakukan iktikaf:

1. Menyediakan tempat atau ruang khusus untuk dijadikan sebagai masjid rumah.
2. Memperbanyak dan memperlama keberadaan kita di ruang tersebut untuk beribadah.
3. Mengurangi aktifitas keluar dari ruang tersebut kecuali karena keperluan yang darurat.
4. Memasang niat untuk iktikaf.
5. Mengajak keluarga untuk menghidupkan suasana ibadah di tempat tersebut.

Sekurang-kurangnya, ini upaya maksimal kita untuk meraih keutamaan 10 malam terakhir Ramadhan. "Allah tidak bebani hambaNya kecuali sebatas kemampuannya."

Waffaqanallahu waiyyakum ajma'in.

22 April 2020

Peduli Dampak Covid-19 : SATGAS PENANGGULANGAN COVID19 DPW PKS Sumbar Bagikan Puluhan Paket Sembako Kepada Warga

Peduli Dampak Covid-19 : SATGAS PENANGGULANGAN COVID19 DPW PKS Sumbar Bagikan Puluhan Paket Sembako Kepada Warga

Peduli Dampak Covid-19 : SATGAS PENANGGULANGAN COVID19 DPW PKS Sumbar Bagikan Puluhan Paket Sembako Kepada Warga

Sebagai wujud kepedulian terhadap dampak wabah covid 19, Satgas Penanggulangan Covid19 DPW PKS Sumatera Barat membagikan puluhan paket sembako kepada warga yang terdampak, Selasa (21/04) di kantor DPW PKS Sumatera Barat. Kegiatan ini merupakan salah satu dari banyak agenda sosial yang dilakukan oleh Satgas untuk membantu masyarakat.

Penyerahan paket sembako ini langsung diserahkan oleh Ketua Satgas Hamdanus, S.Fil.I., M.Si, dan dihadiri oleh perwakilan struktur DPW PKS Sumbar H Rinaldi, SP, Dt Rajo Mangkuto. Paket sembako yang dibagikan adalah berupa beras, telur dan minyak goreng. Hamdanus selaku ketua satgas mengharapkan, dengan pembagian sembako ini diharapkan dapat meringankan beban masyarakat akibat dampak ekonomi yang terjadi akibat wabah ini.

Dalam kegiatan ini, DPW PKS Sumbar diwakili oleh H Rinaldi, SP, Dt Rajo Mangkuto menghimbau untuk semua kader PKS, Fraksi PKS Provinsi hingga Kabupaten kota untuk berperan aktif dalam kegiatan sosial untuk membantu masyarakat, sedikit banyaknya bantuan yang diberikan tetap akan dapat meringankan beban masyarakat.

Satgas Penanggulangan Covid19 DPW PKS Sumatera Barat dibentuk oleh DPW PKS Sumbar guna mempercepat penyaluran bantuan yang didapat dari Anggota Legistatif, kader-kader PKS dan simpatisan. Hingga saat ini, satgas PKS seluruh kota dan kabupaten telah bergerak menyalurkan bantuan berupa APD, Ribuan masker dan ribuan paket sembako kepada masyarakat dan layanan kesehatan.

PKS Sumbar

Kolom

[Kolom][recentbylabel3]
Pemberitahuan
Jangan lupa untuk like dan subscribe PKS Sumbar.
Done